Thursday 27 August 2015



Pasien merupakan seorang konsumen  yang memiliki hak dalam menerima pelayanan kesehatan yang baik. Hak-hak pasien sesungguhnya telah tercantum dalam beberapa pasal, diantarnya ; Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Beberapa bunyi dari pasal 32 tentang perlindungan hak pasien Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu:
a)     memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
b)     memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c)     memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d)    memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
e)    memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;
f)     mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.

Dari isi pasal diatas, dapat diketahui bahwa pasien memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai standar tanpa adanya perbedaan penanganan antara satu pasien dengan pasien lainnya. Namun pada kenyataannya, di Indonesia, banyak sekali contoh kasus pelayan kesehatan yang buruk.Terutama tidak diterimanya pasien karena faktor tertentu. Di Jakarta, banyak contoh kasus penolakan pasien oleh rumah sakit tertentu berkaitan dengan kepemilikan Kartu Jakarta Sehat (KJS).
KJS merupakan suatu program jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui unit pelayanan Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta kepada masyrakatnya dalam bentuk bantuan pengobatan. Terutama bagi keluarga miskin dan kurang mampu dengan sistem rujukan berjenjang. Seluruh penduduk yang mempunyai KTP atau Kartu Keluarga DKI Jakarta yang belum memiliki jaminan kesehatan, diluar program Askes atau asuransi kesehatan, berhak mendapatkan KJS ini.
Pada realisasinya di lapangan, KJS menemui banyak kendala. Diantaranya adalah kurangnya tenaga, peralatan dan fasilitas medis. Jumlah ruangan dan jumlah rumah sakit penerima pasien KJS tidak sebanding dengan jumlah warga miskin di Jakarta yang berbondong-bondong menggunakan fasilitas KJS. Padahal,  pemerintah telah merombak beberapa Rumah Sakit dan menetapkan penambahan 300 lebih ruang kelas dua untuk dijadikan ruang kelas tiga demi mengantisipasi lonjakan jumlah pasien KJS.
Salah satu contoh buruk dari KJS adalah kisah pasien Ana Mudrika, warga Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara. Saat pulang dari sekolahnya ia mengeluh sakit di bagian perut. Oleh ibunya, Royati, Ana dibawa ke klinik dekat rumah, namun karena tak kunjung membaik. Dia lalu dibawa ke rumah sakit, tapi berkali-kali ditolak dengan berbagai dalih. Ada rumah sakit yang tidak memiliki ICU dan peralatan yang lengkap. Ada pula rumah sakit yang mengatakan bahwa ruang kelas 3 penuh sehingga tidak dapat menampung ana. Kondisi Ana pun drop dan hingga ia mengembuskan napas terakhir, Ana tak pernah sempat dioperasi.

Dari beberapa polemik yang ada tentang pengadaan dan pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat  serta contoh kasus dengan KJS ini, sistem pelayanan kesehatan ini masih perlu dibenahi. Sembari berjalan, sebaiknya sistem dan pelaksanaan pelayanan kesehatan ini segera diperbaiki dan dievaluasi.
Pemerintah sebaiknya menambah anggaran belanja untuk pembayaran premi yang diterima oleh rumah sakit. Namun, penggunaan dana ini perlu diiringi dengan manajemen dana yang baik, seperti alokasi dana untuk peralatan kesehatan, fasilita, kapasitas ruang dan pembayaran tenaga kerja yang sesuai dengan kenyataannya. Tidak ada unsur-unsur penggelapan dana maupun pengurangan anggaran dana peralatan medis.
Penambahan anggaran belanja dan manajemen pengelolaan dana yang baik juga perlu diiringi dengan jumlah pemilik KJS yang sesuai dengan persyaratan yang ada. Warga miskin yang berhak mendapatkan KJS sebaiknya didata secara menyeluruh. Sehingga pelayanan kesehatan ini akan tepat sasaran. Upaya-upaya ini sangat perlu dilakukan agar pelayanan kesehatan berjalan seefektif mungkin agar tidak ada lagi pasien yang tidak mendapatkan haknya sebagai konsumen dalam bidang kesehatan.

No comments:

Post a Comment